Sabtu, 24 Mei 2008

Model Gordon-Schaefer dan Model Fox

Model Gordon-Schaefer boleh dikatakan sebagai salah satu model awal pengembangan model bioekonomi. Meskipun tidak lepas dari kritikan, namun model ini banyak menjadi landasan bagi pengembangan model bioekonomi lainnya.
Model Gordon-Schaefer dikembangkan oleh Schaefer yang menggunakan fungsi pertumbuhan logistik yang dikembangkan oleh Gordon. Model fungsi pertumbuhan logistik tersebut dikombinasikan dengan prinsip ekonomi, terutama konsep maksimisasi profit. Dalam model Gordon-Schaefer pendekatan statik dipergunakan tiga kondisi keseimbangan, yaitu: (1) maximum sustainable yield atau MSY, (2) maximum economic yield atau MEY dan (3) open access equilibrium (OAE).
Selain model Gordon-Schaefer, juga terdapat model Fox yang banyak dipergunakan dalam analisis bioekonomi. Dalam beberapa literatur memang model Schaefer dan model Fox direkomendasikan dalam pengkajian MSY, dimana selanjutnya dapat ditindak-lanjuti dengan analisis bioekonomi dengan memasukkan prinsip-prinsip ekonomi dalam pemodelan lanjutan.
Pada model Fox, diperhitungkan adanya decreasing rate upaya penangkapan. Hal itu berbeda pada model Gordon-Schaefer karena asumsi decreasing rate upaya diabaikan atau menggunakan asumsi constant rate upaya penangkapan. Tingkat decreasing rate penangkapan dapat dilihat pada besarnya betha. Apabila betha sama dengan 1, maka tidak terjadi decreasing rate upaya penangkapan seperti pada model Gordon-Schaefer. Sedangkan pada model Fox, betha tidak sama dengan 1.



Dalam model Fox pendekatan statik, juga dapat dilakukan dengan menggunakan tiga kondisi seperti pada model Gordon-Schaefer, yaitu MSY, MEY dan open access. Namun, melihat fungsi matematisnya maka boleh dikatakan model Fox lebih rumit karena hubungan antara CPUE dan E tidak bersifat linier seperti pada model Gordon-Schaefer. Kurva C dan E antara model Gordon-Schaefer dan Model Fox memiliki perbedaan. Kalau pada model Gordon-Schaefer, kurva C-E berbentuk parabolik simetris, namun pada model Fox tidak simetris.



Demikian pula kurva TR, TC, Keuntungan dan E antara model Gordon-Schaefer dan model Fox juga memiliki perbedaan. Pada banyak kasus, level MSY antara model Fox dan model Gordon-Schaefer relatif tidak jauh berbeda. Namun, level OAE antara model Fox dan Gordon-Schaefer dapat jauh berbeda dipengaruhi tingkat decreasing rate upaya penangkapan. Apabila decreasing rate upaya penangkapan mendekati nol (atau mendekati konstan), maka antara model Fox dan model Gordon-Schaefer akan hampir sama atau berhimpit kurvanya.

Model Copes

Bioekonomi yang dikembangkan oleh Parvival Copes menggunakan pendekatan output, yaitu produksi atau yield. Bioekonomi model Copes mengadopsi konsep surplus ekonomi. Dalam ilmu ekonomi, surplus ekonomi dapat ditelusuri setelah mengetahui kurva penawaran dan permintaan. Terdapat dua jenis surplus ekonomi, yaitu surplus produsen (producer surplus) dan surplus konsumen (consumer surplus).
Total dari surplus ekonomi adalah surplus konsumen ditambah surplus produsen. Surplus konsumen adalah selisih antara jumlah yang konsumen bersedia bayar (willingness to pay) dengan yang harus dibayar. Sedangkan surplus produsen adalah selisih jumlah yang diterima (harga berlaku) dengan jumlah yang diharapkan.
Model Copes berbeda asumsi dengan model Gordon-Schaefer yang merupakan model awal pengembangan bioekonomi perikanan. Dalam model Gordon-Schaefer, harga per unit output diasumsikan konstan. Sedangkan dalam model Copes, harga per unit output dapat mengalami fluktuasi.

Pada sisi konsumen, yaitu kurva permintaan, semakin tinggi harga ikan, maka permintaan terhadap ikan semakin sedikit. Hal itu disebabkan adanya kendala anggaran, dimana kenaikan harga akan diikuti penurunan daya beli konsumen. Sebaliknya, pada sisi produsen (nelayan), yaitu kurva penawaran, kenaikan harga akan cenderung menaikkan upaya penangkapan.
Namun, hubungan upaya penangkapan dan produksi dalam perikanan tangkap tidak bersifat linier. Dalam kondisi underfishing, peningkatan upaya penangkapan akan meningkatkan produksi (hubungan positif). Namun pada kondisi overfishing, peningkatan upaya penangkapan justru menyebabkan penurunan hasil tangkapan (hubungan negatif).
Terdapat dua kondisi ekstrim sumberdaya, yaitu kondisi akses terbuka dan kondisi kepemilikan tunggal. Dalam kondisi akses terbuka (open access), kepemilikan sumberdaya “tidak jelas”, artinya tidak ada satu pihak yang mampu mengatur pengelolaan sumberdaya dimana setiap pihak dapat memanfaatkan sumberdaya sesuai dengan kepentingan dan kemauan mereka. Kondisi ini akan menyebabkan pemanfaatan sumberdaya menjadi tidak terkontrol.


Sedangkan kondisi kepemilikan tunggal (sole ownership), terdapat satu pihak yang memiliki otoritas dalam pengaturan sumberdaya. Biasanya otoritas tersebut dimiliki oleh pemerintah, atau dapat dilimpahkan kepada pihak swasta atau lembaga komunitas. Dengan demikian, akses terhadap sumberdaya bersifat terbatas, yaitu hanya kepada pihak yang memiliki ijin dan tingkat pemanfaatannya dapat dikendalikan untuk kepentingan jangka panjang.
Pada kondisi akses terbuka, peningkatan harga pada awalnya menyebabkan peningkatan produksi sampai mencapai titik puncak, selanjutnya mengalami penurunan. Titik puncak tersebut terjadi pada saat mencapai level maximum sustainable yield (MSY). Sedangkan pada kondisi kepemilikan tunggal, pemanfaatan sumberdaya dikontrol tidak melebihi level MSY, sehingga peningkatan harga ikan akan meningkatkan produksi yang tetap terkontrol tidak melebihi level MSY.



Sabtu, 17 Mei 2008

Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP)

Wilayah perairan Indonesia yang demikian luas menyebabkan perlu adanya pembagian wilayah pengelolaan perikanan. Dengan pembagian wilayah ini, diharapkan proses pengelolaan dan pengontrolan sumberdaya perikanan dapat berjalan secara lebih optimal.
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) membagi wilayah perairan Indonesia menjadi 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), yaitu:
  1. Pantai Barat Sumatera, yaitu meliputi propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu dan Lampung.
  2. Pantai Selatan Jawa, yaitu meliputi propinsi Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur.
  3. Pantai Selat Malaka, yaitu meliputi propinsi Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau dan Kepulauan Riau.
  4. Pantai Timur Sumatera, yaitu meliputi propinsi Jambi, Sumatera Selatan, Kep Bangka Belitung dan Lampung.
  5. Pantai Utara Jawa, yaitu meliputi propinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
  6. Pantai Bali dan Nusa Tenggara, yaitu meliputi propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
  7. Pantai Selatan dan Barat Kalimantan, yaitu meliputi propinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
  8. Pantai Timur Kalimantan, yaitu meliputi propinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.
  9. Pantai Selatan Sulawesi, yaitu meliputi propinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.
  10. Pantai Utara Sulawesi, yaitu meliputi propinsi Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi Tengah.
  11. Pantai Maluku-Papua, yaitu meliputi propinsi Maluku, Maluku Utara dan Papua.

Perikanan

Perikanan adalah ilmu yang mempelajari sifat, karakeritik dan pengelolaan sumberdaya ikan. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2004 tentang Perikanan, pengertian dari perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari pra-produksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Yang dimaksud sumberdaya ikan adalah potensi semua jenis ikan yaitu segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. Dalam statistik perikanan, yang dimaksud dengan perikanan adalah kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau pembudidayaan ikan/binatang air lainnya/tanaman air, serta pasca panen ikan.
Terdapat tiga elemen penting dalam perikanan, yaitu: (1) sumberdaya ikan itu sendiri, (2) lingkungan perairan, serta (3) manusia. Sesuai dengan paparan di atas, sumberdaya ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan, diantaranya adalah ikan, kepiting, udang, rajungan, rumput laut, kerang, dsb. Sedangkan lingkungan perairan sangat menentukan kelangsungan hidup, regenerasi dan pertumbuhan sumberdaya ikan, baik faktor fisika, biologi maupun kimia. Faktor fisika yang mempengaruhi antara lain suhu, tekanan (pressure), kepadatan air (density), suara (sound), cahaya, dsb. Faktor kimia antara lain kandungan yang terlarut dalam air, misalnya oksigen, nitrogen, karbondioksida, salinitas, serta nutrien perairan (Ca, Mg, Zn, Fe, Mn, dsb). Sedangkan faktor biologi antara lain adanya predator, kompetitor maupun makanan alami.
Manusia dalam perikanan memegang peranan sentral. Tanpa campur tangan manusia, maka sumberdaya alam berada dalam posisi keseimbangan, namun minim dalam memberikan benefit ekonomi bagi manusia. Dengan campur tangan manusia yang bijaksana, maka sumberdaya alam akan memberikan benefit yang lebih optimal yang bersifat jangka panjang karena kelestariannya terjaga. Penurun stok sumberdaya ikan diantaranya disebabkan oleh penangkapan yang berlebihan sehingga pemulihan stok dapat dilakukan manakala tekanan terhadap sumberdaya (fishing pressure) dikurangi.

Overfishing


Masalah overfishing menjadi ”momok” bagi perikanan tangkap dunia. Sebagian perairan di dunia telah mengalami overfishing. Demikian pula sebagian perairan di Indonesia yang juga telah mengalami overfishing.
Selama ini, produksi perikanan dunia masih didominasi oleh perikanan laut. Tercatat pada tahun 2003, produksi perikanan darat dunia sebesar 34,2 juta ton, sedangkan produksi perikanan laut dunia mencapai 98 juta ton. Pada tahun yang sama, produksi terbesar perikanan laut dunia berasal dari perikanan tangkap, yaitu 81,3 juta ton, sedangkan perikanan budidaya sekitar 16,7 juta ton.
Overfishing atau penangkapan berlebih merupakan kondisi dimana tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan melebihi batasan yang ditetapkan sehingga dapat menyebabkan penurunan stok (deplesi) sumberdaya ikan. Beberapa penelitian dan publikasi memaparkan adanya ancaman fenomena overfishing. Jurnal “Science” edisi November 2006 menjelaskan bahwa sekitar sepertiga (1/3) stok sumberdaya perikanan tangkap dunia berada dalam kondisi memprihatinkan. FAO dalam “FAO State of World Fisheries and Aquaculture 2004” melaporkan bahwa ada tahun 2003 sekitar seperempat (1/4) stok sumberdaya ikan dunia berada dalam kondisi overexploited, deplesi atau sedang mengalami recovery dari kondisi deplesi dan perlu dibangun kembali.
Beberapa ciri yang dapat menjadi patokan suatu perikanan sedang menuju kondisi ini di antaranya adalah: waktu melaut menjadi lebih panjang dari biasanya, lokasi penangkapan menjadi lebih jauh dari biasanya, ukuran mata jaring menjadi lebih kecil dari biasanya, yang kemudian diikuti produktivitas (hasil tangkapan per satuan upaya/trip atau CPUE) yang menurun, ukuran ikan sasaran yang semakin kecil, dan biaya penangkapan (operasional) yang semakin meningkat.Berbicara terminologi overfishing, Terdapat empat jenis overfishing, yaitu:
  1. Growth overfishing

    Growth overfishing atau jenis overfishing pertumbuhan terjadi apabila sumberdaya ikan ditangkap sebelum sempat tumbuh mencapai ukuran tertentu di mana peningkatan lebih lanjut dari pertumbuhan akan mampu membuat seimbang dengan penyusutan stok yang diakibatkan oleh mortalitas alami (misalnya pemangsaan). Growth overfishing dapat dilihat apabila ikan yang tertangkap adalah ikan bukan pada ukuran konsumsi. Pencegahan growth overfishing dapat dilakukan dengan beberapa cara, misalnya pembatasan upaya penangkapan, pengaturan ukuran mata jaring dan penutupan musim atau daerah penangkapan.

  2. Recruitment overfishing
    Recruitment overfishing atau jenis overfishing rekrutmen terjadi ketika kegiatan penangkapan telah menyebabkan stok sumberdaya kekurangan induk. Oleh karena itu, perlu proteksi terhadap induk agar proses rekrutmen atau regenerasi sumberdaya ikan tidak terganggu.

  3. Biological overfishing
    Biological overfishing atau jenis overfishing biologi merupakan kombinasi antara growth overfishing dan recruitment overfishing. Biological overfishing terjadi ketika tingkat upaya penangkapan dalam suatu perikanan telah melampaui tingkat yang diperlukan untuk menghasilkan MSY.

  4. Economic overfishing
    Eonomic overfishing atau jenis overfishing ekonomi terjadi ketika tingkat upaya penangkapan telah melampaui tingkat yang diperlukan untuk meng­hasilkan MEY. Tingkat upaya pemanfaatan pada level MEY menghasilkan keuntungan yang optimal. Tingkat upaya penangkapan pada level MEY lebih kecil daripada tingkat upaya MSY. Tingkat produksi pada level MEY juga lebih kecil daripada tingkat produksi pada level MSY, namun tingkat keuntungan pada level MEY justru lebih besar dari keuntungan pada level MSY. Hal ini menunjukkan bahwa pada level MEY, tingkat upaya penangkapan berada pada level paling efisien.

  5. Ecosystem overfishing
    Ecosystem overfishing atau jenis overfishing ekosistem terjadi ketika kegiatan penangkapan telah menyebabkan perubahan komposisi ekosistem, dimana terdapat jenis stok sumberdaya ikan tertentu menghilang atau menjadi langka. Biasanya ecosystem overfishing mengakibatkan adanya transisi dari ikan bernilai ekonomi tinggi berukuran besar kepada ikan kurang bernilai ekonomi berukuran kecil, dan akhirnya kepada ikan rucah (trash fish) dan/atau invertebrata non komersial seperti ubur-ubur.

  6. Malthusian overfishing
    Malthusian overfishing merupakan overfishing yang terkait dengan masalah pertumbuhan penduduk. Malthusian overfishing atau jenis overfishing malthusian merupakan istilah yang dipergunakan untuk mengungkapkan masuknya tenaga kerja yang tergusur dari berbagai aktivitas berbasis darat (land-based activities) ke dalam perikanan pantai dalam jumlah yang berlebihan. Akibatnya terjadi peningkatan kompetisi dengan nelayan tradisional yang telah ada. Seringkali cara-cara penangkapan yang dipergunakan menggunakan cara-cara penangkapan yang bersifat merusak, seperti penggunaan dinamit untuk ikan-ikan pelagis, sianida untuk ikan-ikan di terumbu karang, dsb.

Bagaimana dengan kondisi sumberdaya ikan di Indonesia? Kondisi sumberdaya ikan nasional pada saat ini cenderung memprihatinkan. Banyak stok sumberdaya ikan di beberapa daerah yang telah melebihi kapasitas daya tangkap. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan sumberdaya ikan di tanah air belum optimal dalam menjaga kelestarian sumberdaya ikan.

Nelayan

Nelayan adalah pelaku perikanan tangkap. Nelayan adalah orang atau komunitas yang secara keseluruhan atau sebagian hidupnya tergantung dari kegiatan menangkap ikan. Terdapat empat jenis nelayan, yaitu:
  • Nelayan subsisten atau subsistence fishers, yaitu nelayan yang menangkap ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri (konsumsi), bukan untuk dijual.
  • Nelayan asli atau native/indigenous/aboriginal fishers, yaitu nelayan yang memiliki karakteristik seperti nelayan subsisten, namun juga melakukan penangkapan ikan untuk kepentingan komersial walaupun dalam skala sangat kecil.
  • Nelayan rekreasi atau recreational/sport fishers, yaitu orang yang menangkap ikan untuk penyaluran hobi dan olahraga.
  • Nelayan komersial atau commercial fishers, yaitu nelayan yang menangkap ikan untuk tujuan komersial. Nelayan komersial ini dibagi menjadi dua, yaitu nelayan skala besar dan skala kecil.

MSY, MEY dan OAE


MSY atau maximum sustainable yield adalah hasil tangkapan terbesar yang dapat dihasilkan suatu stok sumberdaya perikanan. Konsep MSY didasarkan atas suatu model populasi ikan yang dianggap sebagai suatu unit tunggal. Pada prinsipnya, sumberdaya ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus tersebut dipanen, maka ikan akan mampu bertahan secara berkesinambungan. Apabila level produksi surplus yang dipanen, maka tidak akan mengganggu kelestarian stok sumberdaya ikan. Namun, konsep MSY tidak lepas dari kritikan para ilmuwan. Kritik terhadap MSY antara lain adalah:
  • Tidak bersifat stabil.
  • Didasarkan hanya pada konsep steady state, yaitu pada kondisi keseimbangan.
  • Tidak memperhitungkan nilai ekonomi.
  • Mengabaikan aspek interdependensi dari sumberdaya.
  • Sulit diterapkan pada kondisi perikanan yang memiliki ragam jenis (multispecies).

Keuntungan optimal tidak terjadi pada saat MSY. Keuntungan optimal terjadi pada saat maximum economic yield (MEY), dimana marginal revenue (MR) adalah sama dengan marginal cost (MC). Hal itu sesuai dengan prinsip maksimisasi profit atau keuntungan.

Meskipun hasil tangkapan pada level MSY adalah maksimal, namun keuntungan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor produksi dan penerimaan, tetapi juga dipengaruhi oleh biaya. Prinsip efektifitas dan efisiensi perlu dipadukan. Produksi dan penerimaan terkait dengan prinsip efektifitas, sedangkan biaya atau pengeluaran terkait dengan prinsip efisiensi. Pada level MEY, produksi berada pada level optimal secara ekonomi, dimana walaupun produksinya tidak maksimal, namun masih relatif tinggi dan pengeluarannya efisien sehingga keuntungannya tertinggi.

Kondisi open access equilibrium (OAE) atau keseimbangan akses terbuka terjadi pada saat sumberdaya perikanan bersifat open acces. Pada saat kondisi tidak ada hambatan masuk (entry) dan hambatan upaya (effort), maka akan dapat mengakibatkan pemanfaatan sumberdaya ikan menuju break even point (BEP), dimana total revenue (TR) sama dengan total cost (TC).
Selama kegiatan penangkapan menguntungkan, maka akan mendorong orang untuk melakukan peningkatan kegiatan penangkapan. Namun, sumberdaya ikan memiliki keterbatasan dalam daya regenerasi. Oleh karena itu, apabila tingkat penangkapan melebihi level MSY, maka peningkatan upaya penangkapan justru menyebabkan penurunan produksi. Apabila menggunakan asumsi harga dan biaya konstan, maka terjadi transisi kegiatan penangkapan yang semula menguntungkan, berubah menjadi BEP (break even point), dimana kalau terus dipaksakan maka justru menyebabkan kegiatan penangkapan berada pada kondisi merugikan, dimana penerimaan lebih kecil daripada pengeluaran.

Hak Kepemilikan

Hak kepemilikan merupakan klaim yang sah atau secure claim atas sumberdaya tertentu. Terdapat 3 jenis hak kepemilikan, yaitu:

  • State property, dimana kepemilikan berada di tangan pemerintah.
  • Private property, dimana klaim kepemilikan berada pada individu atau kelompok usaha atau korporasi.
  • Common property atau communal property, dimana klaim kepemilikkan berada pada suatu kelompok atau komunitas yang mengelola sumberdaya secara bersama-sama.

Pada beberapa literatur disebutkan adanya jenis kepemilikan yang keempat, yaitu Open Access. Pada kondisi open access, tidak terdapat kejelasan hak kepemilikan, dimana setiap pihak bebas mengakses dan memanfaatkannya. Pada banyak kasus, kondisi ini menyebabkan terjadinya eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan. Fenomena inilah yang dikhawatirkan oleh Gareth Hardin yang menyebutnya dengan istilah the tragedy of the commons atau “tragedi kebersamaan”.

Bioekonomi Perikanan


Perkembangan keilmuan bioekonomi pada saat ini semakin pesat. Bioekonomi diterapkan dalam kajian pengelolaan sumberdaya hayati dengan memasukkan filosofi dan konsep ekonomi untuk optimalisasi benefit. Bidang perikanan termasuk bidang yang paling banyak menggunakan ilmu bioekonomi. Kompleksitas sumberdaya perikanan menyebabkan perlunya pengembangan model yang diperlukan sebagai pendekatan dalam pembuatan kebijakan, termasuk dengan menggunakan pendekatan bioekonomi.

Bioekonomi perikanan berasal dari tiga kata, yaitu biologi, ekonomi dan perikanan. Biologi atau biology berasal dari kata “bio” yang berarti kehidupan, dan kata “logos” yang dapat diartikan sebagai ilmu. Oleh karena itu, biologi secara sederhana dapat diartikan sebagai ilmu mengenai kehidupan mahkluk hayati, termasuk sumberdaya ikan. Sedangkan ekonomi merupakan ilmu yang mempelajari perilaku individu dan masyarakat dalam menentukan pilihan untuk menggunakan sumberdaya-sumberdaya yang langka dalam upaya meningkatkan kualitas hidupnya.

Istilah bioekonomi pada awalnya diperkenalkan oleh TI Baranoff, seorang teoretikus biologi laut asal Rusia, yang menamakan karya ilmiahnya dengan istilah bionomics atau bioeconomics meskipun dalam karya tersebut tidak banyak disinggung tentang faktor-faktor ekonomi. Selanjutnya Scott Gordon merupakan pionir dalam pengembangan bioekonomi. Scott Gordon adalah seorang ahli ekonomi dari Kanada. Gordon yang pertama kali menggunakan pendekatan ekonomi untuk menganalisis pengelolaan sumberdaya ikan yang optimal. Gordon menggunakan basis biologi yang diperkenalkan oleh Schaefer, yaitu konsep maximum sustainable yield atau MSY. Selanjutnya, istilah bioekonomi secara intensif dipergunakan oleh Collin Clark dan Gordon Munro.

Bioekonomi perikanan merupakan ilmu yang bersifat multi disiplin ilmu. Dalam bioekonomi, model dasarnya menggunakan teori dan konsep biologi yang selanjutnya dipadukan dengan konsep ekonomi. Pemakaian konsep ekonomi dimaksudkan untuk optimalisasi pemanfaatan sumberdaya hayati berdasarkan tinjauan ekonomi. Sedangkan bioekonomi perikanan merupakan aplikasi konsep bioekonomi pada bidang perikanan.

Konsep bioekonomi perikanan dikembangkan karena adanya kekhawatiran terjadinya the tragedy of the common atau tragedi kebersamaan pada sumberdaya perikanan. Apabila suatu sumberdaya menjadi ”milik bersama” atau tidak jelas kepemilikannya, dimana setiap pihak secara bebas dapat mengaksesnya, maka eksploitasi terhadap sumberdaya tersebut dikhawatirkan akan terlalu berlebihan.

Sumberdaya perikanan memang dikenal sebagai sumberdaya yang dapat dipulihkan (renewable resources). Namun, harus diingat bahwa daya pemulihan sumberdaya perikanan memiliki keterbatasan. Apabila pemanfaatan sumberdaya perikanan melebihi kemampuan daya pulih sumberdaya (regenerasi stok), maka stok sumberdaya ikan akan mengalami penurunan menuju kepunahan sumberdaya. Oleh karena itu, dikembangkan pendekatan maximum sustainable yield (MSY) atau tingkat tangkapan yang lestari. Pada level MSY, maka pemanfaatan sumberdaya perikanan tidak mengganggu kelestarian sumberdaya, dimana jumlah ikan yang dipanen atau ditangkap pada batasan surplus produksi.

Kritik terhadap pendekatan MSY diantaranya karena belum memperhitungkan nilai ekonomi. Meskipun pendekatan MSY menghasilkan hasil tangkapan yang optimal dan lestari, namun oleh para ekonom dinilai masih belum optimal secara ekonomi. Oleh karena itu, pada perkembangannya ilmuwan dari biologi dan ekonomi banyak mengembangkan konsep bioekonomi dengan tujuan untuk mengupayakan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan yang optimal secara ekonomi dengan tetap memperhitungkan faktor kelestarian sumberdaya perikanan.